Senin, 01 Mei 2017

Dari Petani Untuk Mahasiswa

FEATURE


                                                     Dari Petani Untuk mahasiswa

      Kesadaran bahwa pendidikan begitu penting bagi anak-anaknya dan kewajiban menuntut ilmu menjadi penyemangat bagi Kadun untuk memperjuangkan keinginan anaknya menjadi seorang mahasiswa.Tak mengenal apa pekerjaan yang ia lakoni dan tak perduli berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sekolah anaknya.
Sejak tahun 2010, anaknya mulai duduk dibangku perkuliahan. Bermodalkan hasil sawah yang didapatkannya ketika musim panen lalu, ia mampu memasok kebutuhan biaya yang harus dibayarnya. Mulai dari pembayaran DPP jurusan Komunikasi yang agak mahal, semua pembayaran dikampus hingga pembayaran uang kos.
     Kadun adalah seorang petani di sebuah desa yang terletak di kecamatan Pandaan, kabupaten Pasuruan. Umurnya yang sudah setengah abad tak mengahalangi niat baik anaknya untuk menuntut ilmu. Dia tak pernah bosan menjalankan rutinitas yang sudah lama ia lakoni sejak kecil. Mulai berangkat kesawah sebelum matahari terbit kemudian pulang untuk sholat dhuhur dan kembali lagi kesawah sampai sebelum matahari tenggelam.
“Begitulah rutinitas saya setiap hari, kami tak menyebutnya ke sawah melainkan ke kantor. Bukan hanya orang kota saja yang ke kantor. Petani seperti saya juga ke kantor, yakni sawah,” ucapnya dengan sedikit tawa.
        Bapak beranak tiga ini tak ingin nasib anaknya berakhir seperti dirinya yang harus putus sekolah sejak Sekolah Dasar lantaran keterbatasan dana. Ia memang lahir dari keluarga miskin pasangan petani Syukur   Semua pekerjaan ia lakoni untuk menutupi biaya hidupnya. Mulai menjadi petani, tukang panggul gabah hingga menjadi makelar gabah di desanya.
Jika petani lain akan kaya dengan hasil panennya ketika waktu panen tiba, tidak dengan petani yang satu ini. Pekerjaan yang dilakoninya sebagai makelar gabah di desanya menuntutnya untuk berhutang demi menutupi pembayaran gabah yang dijual kepadanya. Dia harus mengangkut gabah yang dijual kepadanya, satu-persatu karung gabah diangkutnya ke gudang dengan motor Suzuki yang sudah tua. Karung demi karung diangkatnya ke atas timbangan untuk ditimbang. Kemudian ditatanya dengan rapi tumpukan gabah itu didalam gudang menunggu giliran untuk dijemur dan menunggu waktu yang tepat untuk dijual agar mendapatkan keuntungan yang sepadan. Akan tetapi, tak jarang juga ia mengalami kerugian jika sewaktu-waktu harga gabah atau kedelai turun.
       Baginya, tak gampang menjadi seorang petani. Ia harus mampu memutar otak agar hasil panen bisa mencukupi semua kebutuhan hidup. Meskipun hasil panen jika dihitung kelihatan  banyak, tetapi sebenarnya keuntungan yang didapatkannya tak sebanding dengan modal yang digunakan untuk menanami kembali sawahnya dan perawatannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar