FEATURE
Belajar Itu Tuntutan Hidup Setiap Manusia
Belajar Itu Tuntutan Hidup Setiap Manusia
Keringat
yang menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di bibirnya saat kami
bertemu. Raut wajahnya sedikit lelah, namun ia toh tak menggubrisnya. Dari
serambi Musala FIB UI, Ibnu Maroghi bercerita tentang idealismenya dalam
menuntut ilmu.
Lelaki
berumur 21 tahun ini sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Studi
Indonesia di Universitas Indonesia. Namun, pada transisi tahun 2009-2010, ia
tak lebih dari seorang karyawan lulusan STM N Pembangunan (sekarang SMK Negeri
26) yang bimbang tentang masa depannya. Pada saat itu, gaji bulanan telah ia
dapatkan sebagai seorang drafter di sebuah perusahaan konsultan bangunan di
kawasan Pasar Minggu.
Mimpi
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentu merupakan
sebuah dilema karena kuliah akan membuatnya mengorbankan pekerjaannya. Hal itu
belum termasuk biaya kuliah yang harus ia tanggung. Mengandalkan orang tua
jelas tak mungkin. Profesi ayahnya sebagai guru mengaji di sebuah musala dekat
rumah hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sekaligus sekolah
adiknya. Sebagai sulung, ‘anak STM’ ini diharapkan mampu membantu keluarga
secara finansial, setidaknya dengan cara mencukupi kebutuhan pribadinya
sendiri. Namun, sekali lagi, ia ingin kuliah.
Mengapa
ia begitu ingin kuliah? Bukankah orang tuanya menyekolahkan di STM agar cepat
bekerja?
“Mengikuti
kata hati. Saat itu bukan lagi pertimbangan-pertimbangan ribet nan memusingkan,
tetapi sudah dalam tataran jiwa. Saat itu pun sudah kerja, tetapi memang
‘keinginan’ ada di kuliah. Jadi, itulah pilihannya,” jawab pria yang akrab
dipanggil Oghi ini.
Awal
Januari 2010 merupakan momen penting baginya. Saat itu, Oghi menetapkan hati
untuk serius menggapai cita-cita mengenyam bangku kuliah. Berbekal gajinya
sebagai seorang perancang ruang bangunan, pria yang berdomisili di
Kandangsampi, Klender, ini nekat masuk bimbingan belajar (bimbel) untuk
memahami pelajaran IPS SMA. Waktu luang sekecil apapun dimanfaatkannya untuk
belajar, baik di kantor maupun di dalam Metromini. Targetnya jelas: lulus SIMAK
UI 2010.
Tiga
bulan menyulap diri menjadi anak SMA sambil menjalani pekerjaan sebagai drafter
terlihat seperti sebuah kegilaan tersendiri bagi Oghi. Sempat ia berpikir bahwa
ini merupakan suatu pertaruhan yang tak berguna. Realitas yang hadir dalam
wacana ‘bagaimana bayar biayanya?’ hadir untuk menghalangi idealisme yang mulai
berkembang.
“Sebetulnya
harapan saya sudah punah saat itu. Dan itu berhubungan dengan materi (biaya).
Namun, kali ini mentor saya berkata dengan lantang, ‘Duit nanti aja dipikirin.
Sekarang fokus belajar!! Emang, lu udah yakin bisa lolos?’ Ucapannya bikin saya
semangat lagi,” kenangnya.
Untuk
membentengi diri dari pesimisme yang mulai melanda, ia mencari dukungan
sana-sini. Buku The Secret karangan Rhonda Byrne, cerita seorang mahasiswa luar
kota yang berhasil masuk UI dengan biaya pas-pasan, serta nasihat dari seorang
teman nyatanya berhasil mendongkrak motivasinya hingga ia ‘kembali ke jalan
yang benar’. Oghi kembali memaknai kekuatan sebuah mimpi yang belakangan
dianggap klise bagi sebagian orang. Ia dengan bersemangat menggapai mimpi itu
agar menjadi suatu kenyataan yang bisa diraih.
Waktunya
tiba. Maret 2010, ia menjalani Seleksi Masuk Universitas Indonesia (SIMAK UI).
Di lokasi ujian, ia sempat bertemu teman lama satu sekolah yang ternyata
memiliki ‘kegalauan’ yang sama untuk banting setir dari dunia teknik.
Bersama-sama, mereka berdoa agar dapat bertemu lagi sebagai mahasiswa di kampus
yang sama.
Segala
puji bagi-Nya. Beberapa bulan setelah ujian, Oghi dinyatakan masuk UI. “Waktu
itu, saya langsung lari keliling terminal Rawamangun sambil teriak-teriak
saking senengnya.” Sambil tetap berdoa, pria Betawi ini bersiap untuk
menyempurnakan ikhtiarnya. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, meminta
keringanan biaya dari pihak kampus, serta memikirkan pekerjaan sambilan agar
dapat membiayai kuliahnya. Selain itu, program beasiswa dari pemerintah pun
dibidiknya.
Tuhan tak
ragu mencurahkan rizki padanya. Saat ia melayangkan permintaan pengunduran
diri, atasan justru membolehkannya tetap bekerja sambil menyesuaikan dengan
jadwal kuliah. Oghi tak kehilangan penghasilan bulanannya. Rencananya
‘direvisi’ oleh Sang Mahapencipta.
Rejeki
lain datang. Biaya kuliah yang tadinya 5 juta rupiah sebagai uang pangkal dan
lima juta rupiah lagi sebagai biaya kuliah per semester ‘terpangkas’ menjadi
300 ribu rupiah (uang pangkal) dan 2 juta (biaya kuliah per semester). “Ini
karena saya menunjukkan kemiskinan saya, hahahaha….” Oghi tergelak.
Kedua
rizki di atas akhirnya sempurna oleh rizki ketiga. Oghi mendapatkan Beasiswa
Bidik-Misi dari Kemendiknas sebesar Rp5 juta. “Dua juta saya alokasikan untuk
biaya kuliah, sisanya untuk biaya hidup.”
Apa
rahasia dibalik pencapaiannya selama ini?
“Rahasianya
nggak ada...kecuali yakin sama kekuatan dahsyat kita sendiri dan percaya bahwa
hasilnya nanti adalah yang terbaik buat kita. Nothing to lose, istilahnya.”
Sebagai
penutup perbincangan kami siang itu, dengan tatapan matanya yang cerah dan
senyumnya yang khas, Oghi berpesan untuk anak sekolah yang mengalami
keterbatasan biaya namun tetap ingin melanjutkan pendidikannya.
“Ketika
masih dalam usia anak dan remaja, jangan pernah berpikir bahwa bekerja lebih
baik ketimbang belajar (sekolah). Belajar itu wajib, musti, kudu. Belajar itu
tuntutan hidup. Belajar itu sampai akhir hayat. Berusahalah terus untuk
bersekolah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar